Struggling life is easy if you enjoy it

Hello, selamat datang di cerita kedua setelah welcoming back sebelumnya. Nah cerita kedua ini lebih bercerita sih tentang what life been struggling after got my bachelor degree, ya sebelumnya sudah saya mention sebelumnya, kalau setelah lulus kuliah saya aktif berorganisasi, saya anggap itu sebagai pengembangan diri saya selama tidak bekerja dimana-mana, meskipun dalam realitanya saya mengajar di sebuah sekolah, saya anggap itu sebagai pencarian jati diri dan pengalaman, saya benar-benar tenggelam dalam kegiatan saya yang kadang kalau orang lihat ''what are really doing with those messy things?'' tapi, ya balik lagi waktu itu saya masih senang melakukan pekerjaan yang memang saya sukai, bukan yang saya butuhkan. Saya hilir mudik bekerja apa saja, terkadang ikut jadi tim peneliti bahkan di luar dari bidang ilmu saya, ya tujuannya simpel kerja tidak terkekang dan dapat uang. Sungguh pemikiran yang idealis sih. 

Oke lanjut, mungkin setelah lulus saya akan bercerita pengalaman waktu saya diberikan kesempatan menjadi salah satu relawan trauma healing di bencana Palu kemarin, saya sekitar 10 hari menghabiskan waktu hidup di daerah Sigi, desa salua. Tahun 2018 bulan november saya berangkat ke palu bersama relawan lain, naik bus selama 21 jam (wow lama sekali) saya bertolak dari Makassar ke Kota palu mulai jam 06.00 sore sampai jam 10.00 malam keesokan harinya. Setelah sampai di Palu, kami menginap dulu di basecamp Mapala kampus islam di Palu, sampai menunggu hari esok untuk berangkat ke desa tujuan, sungguh perjalanan yang melelahkan, apalagi pada saat itu yang ikut sebagai relawan ada sekitar 5 orang dari Makassar, 1 orang dari Korea, dan 1 lagi dari Aceh, kebetulan hanya saya dan orang korea yang perempuan. Sebelum ke lokasi salah satu relawan yang lebih dulu sudah pernah kesana menjelaskan kondisi desa yang akan kami datangi, kemungkinan akan banyak penyesuaian, mulai dari tempat tinggal dan mungkin minim air, jadi jangan harap bisa mandi seperti biasa dengan bergelimang air. (haha) pikirku adalah aku harus siap membawa baju yang cukup untuk 10 hari, dan sedikit keperluan perempuan (haduh ribet juga perempuan, ya) akhirnya setelah siap dengan semua konsekuensi saya memutuskan berangkat, gimana ya cara ijin ke orang tua? tenang, saya cukup pandai dalam meminta izin, hampir semua kegiatan orang tua saya cukup percaya, pergi keluar dari Makassar sendiri pun saya sudah pernah, apalagi hanya pergi lintas provinsi yang tidak begitu jauh dari Makassar, awalnya orang tua cukup khawatir, apalagi di Palu waktu itu masih sering terjadi gempa kecil, beliau takut saya kenapa-napa, ya wajar namanya orang tua, tapi waktu itu saya menyakinkan orang tua saya dengan kalimat andalan ''Mah, saya suka melakukan kebaikan, saya suka melakukan ini, masa iya berbuat baik dilarang?, insyaa Allah kalau itu baik dan memang diridahoi sama Allah pasti tidak akan kenapa-napa''. Begitu kurang lebih izinku kepada orang tua ku, akhirnya orang tua ku luluh dan dibiarkan pergi meskipun dengan sedikit persyaratan selalu berkabar. 

Selama di desa salua, saya diperlakukan baik oleh teman-teman relawan yang lain yang memang hampir semuanya laki-laki, saya benar-benar dijaga seperti layaknya perempuan, mereka selalu membantu saya disaat apapun, berusaha memberikan perhatian yang membuat saya tetap nyaman di desa itu, ditambah perlakuan warganya yang membuat saya terenyuh, warganya begitu baik kepada saya, anak-anak yang ceria yang selalu menunggu kehadiran saya, semakin membuat saya beruntung dan tidak akan pernah melupakan pengalaman saya selama di Palu. Setiap harinya, dari pagi sampai siang saya langsung ke sekolah darurat mengajar dan bermain dengan anak-anak, bermain, lalu siang ke dapur umum untuk bantu-bantu memasak buat makan siang bersama, lalu sorenya dilanjut aktivitas mendongeng bersama anak-anak, selama di Palu saya mendadak menjadi penyanyi, disetiap kesempatan kita selalu bernyanyi bersama anak-anak, lagu anak-anak dan mengedukasi tentunya.
Sungguh 10 hari itu adalah pengalaman yang tak terlupakan.